Rabu, 12 Maret 2008

FENOMENA GIZI BURUK DI SULSEL

Belum cukup dua bulan setelah saya ungkapkan unek-unek saya pada media ini tentang gizi buruk yang akan melanda bangsa kita, kita dikejutkan dengan meninggalnya dg. basse warga jl. dg. tata makassar, yang diduga karena kasus kelaparan dan anaknya yang menderita gizi buruk, meskipun pemerintah tidak menerima dugaan tersebut.

Beberapa hari kemudian, Harian Seputar Indonesia mengangkat Headline tentang 10 balita di Kabupaten Pinrang yang menderita gizi buruk dan sedang menjalani perawatan di RSUD. Lansinrang Kab. Pinrang.

Selanjutnya keesokan harinya, pada harian yang sama kembali mengangkat kasus gizi buruk yang di temukan di Kabupaten Bone dan Gowa.

Mengapa di Lumbung Pangan terdapat kasus gizi buruk ?

Mencegah masalah gizi adalah tindakan preventive yang harus dilakukan TERHADAP seorang anak yang rentan terhadap kurang gizi baik karena fenomena KEMISKINAN maupun karena SALAH ASUH. Tindakan pencegahan adalah strategi jangka panjang pecegahan timbulnya masalah gizi

Hingga saat ini tindakan pencegahan masih sangat terbatas dan bahkan tidak pernah nampak bentuk nyata dari intervensi yang dilakukan.
Salah satu kegiatan yang sering diklaim sebagai tindakan pencegahan adalah melalui metode KIE. Metode ini digolongkan metode lama yang hanya dapat dilihat wujudnya dalam bentuk foster, buku saku, baliho, dan reklame terbatas


Hampir tidak pernah ditemukan model intervensi gizi yang mengandalkan proses pembelajaran publik khususnya sasaran yang mengalami masalah. Pemerintah saat ini masih fokus pada tindakan penanggulangan setelah masalah menjadi besar. Hal ini merupakan pilihan terakhir disaat kita tidak lagi berdaya melihat mereka yang kurang gizi terancam mati kelaparan


Dalam situasi seperti ini petugas harus menyadari bahwa kurang gizi harus dilihat dalam dua dimensi.
Pertama : keadaan emergensi
Kedua : keadaan non emergensi.
Kedua pendekatan ini harus memiliki intervensi yang paralel. Hal ini beararti bahwa yang mengalami status gizi buruk harus dirujuk ke Pelayanan Kesehatan dan yang berstatus gizi kurang harus dirujuk kepada pelayanan gizi masyarakat dengan menerapkan berbagai model intervensi yang ada


Seorang tenaga gizi Puskesmas (TGP) mendistribusikan MP-ASI kepada ibu balita kurang gizi, maka pastikan bahwa si ibu telah diajar bagaimana cara menggunakan MP-ASI dengan tepat.
Caranya adalah seorang TPG melatih kelompok ibu untuk mampu mendemonstrasikan cara mengolah MP-ASI. Pada sesi training setiap ibu diminta untuk memperagakan cara mengolah MP-ASI.
Jika ia sudah mahir maka barulah MP-ASI dapat didistribusi kepada yang bersangkutan. Menjelang beberapa bulan berjalan keterampilan tersebut harus tetap dimonitoring ketepatannya oleh TPG. Jika terdapat kesalahan maka sebaiknya dilakukan peragaan ulang cara membuat bubur MP-ASI.

Proses inilah yang harus dilakukan sebelum MP-ASI dibagikan kepada yang berhak menerima. Apa konsekwensinya jika tidak dilakukan demonstrasi ini?


MP-ASI pabrikan adalah bahan makanan yang memerlukan presisi tinggi dalam pembuatannya. Konsistensi, kebersihan alat, penjamah, waktu pemberian, porsi pemberian dan teknik pemberiannya. Jika presisinya kurang baik maka hasilnya tidak maksimal atau bahkan kontradiksi dengan tujuan pemberiannya. Misalnya berapa banyak kasus MP-ASI berubah menjadi PASI hanya salah dalam porsi dan waktu pemberian.

Kejadian ini dapat dimaklumi mengingat ASI diproduksi dengan sistem suplay dan demand. Ketika anak kenyang dengan MP-ASI maka pada saat yang sama ia tidak akan menyusui dan sekaligus produksi ASI menjadi berkurang. Pada titik kulminasi tertentu akan terhenti jauh sebelum usia 24 bulan.


Secara teoritis makanan diluar ASI hanya dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan 1/3 dari AKG anak hingga usia 24 bulan. Artinya jika proses suplai dan demand berjalan normal makanan diluar ASI memiliki peran sebagai pendamping bukan pengganti ASI hingga usia 24 bulan. Setelah melewati usia 24 bulan peran ASI terhenti secara perlahan-lahan atau berhenti sama sekali.

Nuun Walqalami Wamaa Yasthurun